Malam merayap pelan ketika Mamat menutup hari yang panjang. Di beranda rumah kayu yang masih hangat oleh sisa lampu, ia membuka ponsel dan menatap judul berwarna-warni bernama Sweet Bonanza. Tidak ada niat muluk, hanya upaya menyejukkan kepala setelah riuh latihan dan bau keringat kostum.
Mamat, yang dikenal warga sebagai tukang kuda lumping, terbiasa dengan ritme hidup yang naik turun. Tangannya piawai mengecat perisai dan merapikan pecut, telinganya akrab dengan gamelan yang berdenting sepanjang sore. Malam itu, langkahnya berakhir pada layar kecil yang memantulkan cahaya ke dinding.
Setelah merapikan peralatan dan menutup gudang, Mamat duduk bersila dengan segelas teh yang mulai hambar. Ia menyalakan ulang gim, mengingatkan dirinya agar tidak berlarut-larut. Sweet Bonanza baginya sekadar jeda, ruang kecil untuk menarik napas sebelum tidur.
Beberapa menit berlalu tanpa kehebohan. Irama tombol ditekan mengikuti denyut jantung yang makin pelan. Di ujung rasa kantuk, ia berencana berhenti, namun masih menyisakan satu tarikan yang belum terlampiaskan.
Dalam sunyi yang mengental, tarikan terakhir itu terasa biasa saja. Layar menari dengan ikon permen dan buah-buahan, lalu seketika angka di sudut layar melonjak tak terduga. Mamat terpaku, jari telunjuknya menggantung di udara.
Di luar kabar yang beredar malam itu, hidup Mamat berjalan sederhana. Pagi untuk menjahit aksesori, siang untuk menyusun properti, sore hingga petang mengawal latihan anak-anak. Upahnya tak selalu rata, tapi semangat paguyuban menjadi pengikat yang membuat segala kerja terasa masuk akal.
Warga mengenal Mamat sebagai sosok yang sabar. Ia jarang bersuara kencang, lebih sering mengangguk sambil bekerja. Ketika ada kebutuhan mendadak, ia memilih menunda keinginan dan memastikan urusan kelompok seni tetap berjalan.
Kembali ke beranda, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Angka di layar ponsel menunjukkan nominal yang nyaris menyentuh seratus juta rupiah. Mamat menutup mata sejenak, memastikan pandangannya tidak keliru.
Keluarga yang masih terjaga mengamati dari balik pintu. Mereka memeriksa ulang, menahan diri agar tidak gaduh. Malam itu tetap sunyi, hanya terdengar suara jangkrik yang saling menyahut, sementara layar kecil menampilkan bilangan yang membuat dada bergemuruh.
Keesokan harinya, obrolan merambat dari warung ke pos ronda. Orang menyampaikan kabar dengan nada ingin tahu, namun lingkungan memilih menjaga batas. Seorang pengurus paguyuban seni menilai, rezeki apa pun bentuknya perlu ditangani dengan kepala dingin agar tidak merusak keseharian.
Mamat memutuskan mengamankan sebagian untuk urusan rumah tangga dan menyiapkan perbaikan kostum yang lama tertunda. Sisanya disimpan, menunggu keputusan yang lebih matang ketika suasana benar-benar tenang. Ia paham euforia mudah mengaburkan pertimbangan, sedangkan hidup butuh langkah yang berkelanjutan.
Dalam percakapan kecil di teras, beberapa tetangga mengingatkan agar tidak gegabah. Mereka menaruh harap agar keberuntungan malam itu menjadi penopang, bukan jebakan. Mamat mengiyakan, memilih diam dan kembali bekerja pada kain, cat, dan tali yang sudah menunggu.
Kisah ini berakhir tanpa gemuruh, hanya perubahan tipis pada cara Mamat menatap hari esok. Sweet Bonanza, yang semula sekadar pengisi jeda, tiba-tiba ikut menuliskan bab yang tak terduga. Namun setelah angka mereda, yang tinggal adalah keputusan-keputusan kecil yang menentukan arah hidup.
Mamat kembali ke ritme lamanya: merapikan kostum, mengajar gerak dasar, dan menjaga disiplin kelompok. Rezeki besar yang datang nyaris seketika itu menjadi pengingat bahwa ketenangan dan kendali diri lebih berharga daripada sorak sorai yang cepat padam. Malam telah berlalu, dan pekerjaan esok pagi tetap menunggu dengan setia.