Gang kecil di pinggiran kota mendadak ramai sore itu. Kakek Purnomo, tukang tambal ban yang dikenal kalem, pulang membawa tumpukan uang tunai senilai Rp81 juta. Ia menyebut nominal itu berasal dari permainan bernama Sweet Bonanza di ponselnya.
Kabar itu beredar cepat dari warung ke pos ronda. Warga berdiri di ambang pintu, ingin tahu duduk perkaranya dan bagaimana uang sebanyak itu muncul sekaligus.
Di depan bengkel sederhana, keluarga menata pecahan rupiah di atas meja kayu. Anak tetangga menghitung pelan sementara beberapa ibu-ibu menjaga jarak. Purnomo terlihat santai, sesekali mengangguk ketika ada yang bertanya dari jauh.
Istilah "wede" muncul di obrolan warga sebagai sebutan pencairan dana. Ada yang mengira ia habis menjual motor lama, ada juga yang menebak hasil kerja tambahan. Ketika ia menjelaskan uang itu berasal dari permainan di ponsel, suasana makin riuh namun tetap tertib.
Sebagian orang mengingatkan agar uang tidak lama-lama ditaruh di rumah. Situasi keramaian dinilai rawan, apalagi setelah jumlahnya terlanjur menjadi bahan perbincangan kampung.
Nama Sweet Bonanza muncul karena Purnomo menyebut permainan tersebut saat ditanya sumber uangnya. Permainan ini dikenal dengan nuansa warna-warni dan cara main yang berlangsung cepat, sehingga sering muncul di tayangan singkat ponsel. Di titik ini, warga terbelah antara percaya dan ragu karena tidak semua memahami mekanismenya.
Beberapa anak muda menyebut pernah melihat konten yang memamerkan hasil dari Sweet Bonanza, namun keluarga sepuh menanggapinya hati-hati. Mereka menilai klaim besar di layar ponsel perlu verifikasi dan tidak bisa dijadikan acuan keuangan keluarga. Perbincangan pun beralih pada cara menyikapi cerita daring yang tampak meyakinkan, termasuk saat sebuah nama permainan terdengar menggiurkan.
Pada akhirnya, nama Sweet Bonanza menjadi penanda betapa kuatnya pengaruh gawai di obrolan harian. Fenomena ini membuat warga sepakat agar keputusan terkait uang tetap dipikirkan matang tanpa bergantung pada cerita yang belum jelas landasannya.
Keluarga terdekat mendorong Purnomo menata ulang prioritas setelah wede Rp81 juta itu dibawa pulang. Ada saran agar dana disisihkan untuk tabungan darurat dan biaya kesehatan, sisanya dipisah untuk kebutuhan bengkel. Ketua lingkungan mengimbau agar tidak memamerkan uang tunai, sekalipun hanya untuk menenangkan rasa penasaran tetangga.
Warga lain mengingatkan soal catatan sederhana: kapan uang diterima, berapa yang keluar, dan untuk apa. Catatan itu membantu melacak arus uang sehingga tidak habis tanpa terasa. Mereka juga menyarankan pendampingan keluarga dalam setiap keputusan penting supaya tidak muncul tekanan sosial atau godaan yang tidak sejalan dengan kebutuhan rumah tangga.
Membawa uang dalam jumlah besar menyita perhatian. Warga menyarankan menyimpan pada tempat yang lebih aman, menghindari perjalanan sendirian, dan membatasi informasi yang tersebar di luar lingkar keluarga. Langkah-langkah ini dipandang wajar agar situasi tetap kondusif dan Purnomo bisa melanjutkan hari-harinya sebagai tukang tambal ban tanpa gangguan.
Peristiwa Purnomo menorehkan pelajaran ringkas bagi kampung: kabar soal uang besar cepat sekali memantik penasaran, terlebih ketika ia dikaitkan dengan Sweet Bonanza. Di tengah derasnya informasi, warga sepakat bahwa urusan finansial perlu kehati-hatian, pencatatan, dan ruang diskusi yang tenang di dalam keluarga.
Kisah ini juga menegaskan peran komunitas untuk saling mengingatkan tanpa menghakimi. Apa pun sumbernya, uang dalam jumlah besar sebaiknya dikelola dengan rencana realistis, tidak terburu-buru, dan tidak dipengaruhi euforia layar ponsel. Dengan cara itu, cerita yang berawal dari keramaian sore bisa berujung pada keputusan yang lebih aman bagi semua.